Hubungan penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan peningkatan risiko tulang rapuh dan patah tulang


Berdasarkan penelitian terbaru, pasien penderita COPD ( Chronic Obstructive Pulmonary Disease) atau dalam kedokteran Indonesia dikenal dengan sebutan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) yang menerima terapi pengobatan berupa kortikosteroid inhalasi, berisiko untuk mengalami kerapuhan tulang dan patah tulang.

Selama ini penggunaan kortikosteroid inhalasi digunakan untuk mengurangi gejala COPD seperti batuk, napas pendek, kesulitan bernapas, dan sebagainya. COPD sendiri merupakan penyakit kombinasi emfisema dengan bronchitis kronis yang sering dihubungkan dengan kebiasaan merokok. Penyakit ini menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di Amerika Serikat.

Peneliti melakukukan pengamatan data selama lebih dari empat tahun dan menemukan setidaknya 1 kasus patah tulang dari 241 pasien penderita COPD yang menerima terapi kortikosteroid inhalasi. Temuan itu diungkapkan oleh Dr. Walter Chua, Dokter paru-paru senior dari rumah sakit Northwell Health’s Long Island Jewish Forest Hills di Forest Hills, New York, Amerika Serikat.

Dr. Chua mempercayai bahwa meskipun steroid kemungkinan dapat menyebabkan risiko patah tulang, pasien tidak seharusnya panik terhadap risiko itu, dokter akan selalu memantau perkembangan risikonya.

Menurut Dr. Chua, jika pasien memang harus menggunakan steroid, maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kepadatan mineral tulang dan risiko patah tulang dimana pihaknya memiliki obat atau terapi untuk membantu mengurangi risiko itu.

Kortikosteroid inhalasi diyakini dapat mengurangi kepadatan mineral tulang, khususnya pada wanita pascamenopause.

Studi yang dilakukan oleh Dr. Samy Suissa dari Universitas McGill, Montreal, Kanada, mencatat lebih dari 240 ribu pasien COPD berusia 55 tahun keatas di provinsi Quebec, Kanada. Data selama 5 tahun terakhir tercatat tingkat kejadian patah tulang dari jumlah pasien tadi adalah 15 orang per 1000 pasien per tahun. Namun nilai rata-rata itu akan lebih tinggi pada pasien yang menerima pengobatan dengan kortikosteroid inhalasi dengan dosis harian 100 mcg atau lebih. Menurut Suissa, risikonya sama, baik untuk pria maupun wanita, meskipun dalam penelitiannya, patah tulang yang terjadi lebih banyak dialami oleh wanita.

Kortikosteroid inhalasi diklaim memiliki efek samping yang minimal, namun dalam dosis tinggi menyebabkan efek samping sistemik seperti osteopenia, osteoporosis, dan osteonekrosis. Kortikosteroid memiliki efek merusak pada fungsi dan hidup osteoblas dan osteosit dan memperpanjang hidup osteoklas, menyebabkan penyakit tulang metabolik. Salah satu contoh penyakit tulang metabolik adalah GIO (Glucocorticoid-induced osteoporosis). Penyakit ini dihubungkan dengan risiko tinggi mengalami patah tulang pinggul dan tulang belakang pada penderitanya. American College of Rheumatology (ACR) merekomendasikan penggunaan bisphosphonates bersama dengan kalsium dan vitamin D sebagai agen lini pertama untuk manajemen GIO. Rekomendasi ACR dapat digunakan untuk terapi pasien pengguna kortikosteroid inhalasi yang memiliki risiko tinggi mengalami penyakit tulang metabolik.

Dr. Ann Tilley, seorang dokter paru-paru di Lenox Hill Hospital di New York, Amerika Serikat, menyatakan dirinya tidak ikut dalam penelitian-penelitian terbaru yang dilakukan, namun ia banyak membaca temuan dari hasil penelitian itu dan ia kemudian menekankan bahwa hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tidak dapat membuktikan sebab dan akibat. Namun ia menekankan bahwa penggunaan jangka panjang kortikosteroid inhalasi dosis tinggi bukan berarti bebas dari risiko. “Kita harus mencoba meminimalkan penggunaannya jika memungkinkan.” katanya.

“Saya akan mendorong pasien untuk berbicara dengan dokter mereka tentang produk inhalasi yang mereka gunakan dan bertanya secara khusus apakah mereka perlu menggunakan kortikosteroid inhalasi, dan jika iya apakah bisa dicoba memberikan dosis yang lebih rendah,” tambahnya.

Menurut studi lainnya, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan moderat selama sekira 2 tahun terapi, hanya akan menyebabkan sedikit perubahan pada tingkat kepadatan mineral tulang dalam 2 tahun itu. Tentunya pemberian dosis kortikosteroid inhalasi didasarkan pada seberapa parah gejala dan penyakit yang diderita.

Daftar pustaka:

[bg_collapse view=”button-blue” color=”#fff” expand_text=”Show ” collapse_text=”Hide” ]

  • Widely Used COPD Meds Tied to Higher Fracture Risk. https://www.webmd.com/lung/copd/news/20180213/widely-used-copd-meds-tied-to-higher-fracture-risk. Diakses 26 Desember 2018
  • Bone mineral density in subjects with mild asthma randomised to treatment with inhaled corticosteroids or non-corticosteroid treatment for two years. https://thorax.bmj.com/content/56/4/272. Diakses 26 Desember 2018
  • Inhaled Corticosteroids and Bone Health. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4319192/. Diakses 26 Desember 2018
  • Use of inhaled corticosteroids and risk of fractures. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11277277. Diakses 26 Desember 2018
  • Children and the Risk of Fractures Caused by Oral Corticosteroids. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1359/jbmr.2003.18.5.913. Diakses 26 Desember 2018
  • Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). https://www.gleneagles.com.sg/id/specialties/medical-specialties/lungs/chronic-obstructive-pulmonary-disease. Diakses 26 Desember 2018

[/bg_collapse]